Sail : Ust. Khoirul Anam

Deskripsi masalah
Dalam kehidupan rumah tangga sering kita jumpai bagi setiap pasutri (pasangan suami istri) dalam memanggil pasangannya banyak menggunakan sebutan, abi-ummi, ayah-ibu, mama-papa, kakak-adek dan lain sebagainya.

Pertanyaan:
1. Bagaimana hukumnya panggilan tersebut berikut pengaruhnya pada status pasutri?

2. Adakah kesunnahan atau tuntunan atau sebutan yang dianjurkan dalam islam?

Jawaban:
1. Penggunaan sebutan seperti diatas bagi pasangan suami istri hukumnya ditafsil:
  • Apabila sebutan tersebut dengan niat tasyabbuh bittahrim maka termasuk dlihar (menyamakan istri pada seseorang yang haram dinikahi), dan hukumnya adalah haram.
  • Apabila sebutan tersebut dengan niat memulyakan atau menghormati maka tidak termasuk dlihar, namun hukumnya adalah makruh.
  • Apabila sebutan tersebut tidak dengan niat seperti diatas, maka hukumnya adalah mubah.
Namun semua tafsilan diatas hanya berlaku bagi suami. Sedangkan bagi istri sebutan diatas tidak bersinggungan pada hukum dlihar, dan hukumnya adalah mubah.

2. Kesunnahan, tuntunan atau sebutan yang dianjurkan dalam islam bagi pasangan suami istri, sementara musyawirin belum menemukan keterangan yang pas.

Keterangan tambahan:
Apabila sebutan tersebut diatas dengan niat tadrib (melatih anak agar terbiasa menggunakan sebutan tersebut) atau sebutan tersebut mengandung ungkapan rasa sayang, maka itu baik.

Referensi jawaban

Ust. Achmadtaufiq99
ﻭﺃﻣﺎ ﻣﻦ ﻗﺎﻝ ﻹﻣﺮﺃﺗﻪ؛ "ﻳﺎ ﺃﺧﺘﻲ ﺃﻭ ﻳﺎ ﺃﻣﻲ" ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ اﻟﻜﺮاﻣﺔ ﻭاﻟﺘﻮﻗﻴﺮ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻈﺎﻫﺮا، ﻭﻟﻜﻦ ﻳﻜﺮﻩ ﻟﻪ ﺫﻟﻚ
Tafsir rawa-i'ul bayan syekh ali shabuni Jil 2, hal. 522.

قال المصنّف رحمه الله؛ وإن قال؛ "أنتِ عليَّ كأمِّي أو مثْل أمي"، لم يكنْ ظهاراً إلا بالنيَّةِ، لأنه يحتملُ أنها كالأم في التحريمِ أو في الكرامةِ فلم يُجْعَلْ ظهاراً من غير نيةٍ، كالكنايات في الطلاق
المجموع للنواوى ١٨ ص ٤٣٤ دار الفكر

Ust. Syamsul Arifin
وإن قال؛ "أنت علي كأمي أو مثل أمي"، ونوى به الظهار، فهو ظهار، في قول عامة العلماء؛ منهم أبو حنيفة وصاحباه، والشافعي، وإسحاق
وإن نوى به الكرامة والتوقير، أو أنها مثلها في الكبر، أو الصفة، فليس بظهار. والقول قوله في نيته. وإن أطلق، فقال أبو بكر؛ هو صريح في الظهار. وهو قول مالك، ومحمد بن الحسن. وقال ابن أبي موسى؛ فيه روايتان، أظهرهما أنه ليس بظهار حتى ينويه. وهذا قول أبي حنيفة، والشافعي؛ لأن هذا اللفظ يستعمل في الكرامة أكثر مما يستعمل في التحريم، فلم ينصرف إليه بغير نية، ككنايات الطلاق. اهى
Al-Mughni Li Ibnu Qudamah, Juz: 8  Hal: 7

فَصْلٌ - فِيْمَنْ أَطْلَقَ لَفْظًا لَا يَعْرِفُ مَعْنَاهُ لَمْ يُؤَاخَذْ بِمُقْتَضَاهُ إِذَا نَطَقَ الْأَعْجَمِيُّ بِكَلِمَةِ كُفْرٍ أَوْ أَيْمَانٍ أَوْ طَلَاقٍ أَوْ إِعْتَاقٍ أَوْ بَيْعٍ أَوْ شِرَاءٍ أَوْ صُلْحٍ أَوْ إِبْرَاءٍ لَمْ يُؤْخَذْ بِشَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ لِأَنَّهُ لَمْ يَلْتَزِمْ مُقْتَضَاهُ وَلَمْ يَقْصِدْ إِلَيْهِ وَكَذَلِكَ إِذَا نَطَقَ الْعَرَبِيُّ بِمَا يَدُلُّ عَلَى هَذِهِ الْمَعَانِيْ بِلَفْظٍ أَعْجَمِيٍّ لَا يَعْرِفُ مَعْنَاهُ فَإِنَّهُ لَا يُؤَاخَذُ بِشَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ لِأَنَّهُ لَمْ يُرِدْهُ فَإِنَّ الْإِرَادَةَ لَا تُتَوَجَّهُ إِلَّا إِلىَ مَعْلُوْمٍ أَوْ مَظْنُوْنٍ. اهى
الشيخ عز الدين بن عبد السلام في قوائد اﻷحكام ج ٢ ص ١٠٢

“Fasal, seseorang yang mengucapkan lafazh yang tidak mengetahui maknanya, maka tidak tertuntut dengan dampak hukum yang ditimbulkan atas perkataan tersebut. Apabila orang non arab mengatakan kalimat kufur, sumpah, talak, memerdekakan budak, jual beli, akad shulh, atau ibra’ yang Ia tidak mengetahui hakikat maknanya, maka tidak tertuntut dengan konsekuensi perkataannya tersebut. Sebab tidak ada kesanggupan dan tujuan untuk melakukan beberapa perkara di atas. Begitu juga apabila orang Arab mengatakan dengan menggunakan shighat non Arab yang tidak Ia ketahui maknanya, maka tidak sah. Sebab sesungguhnya Ia tidak menghendakinya. Sesungguhnya sebuah tujuan tidak dapat diarahkan kecuali terhadap hal yang diketahui secara yakin atau minimal dugaan yang kuat (dhon)”.

0 komentar:

Posting Komentar

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

Salam Secangkir Kopi

Rumusan ini merupakan hasil belajar bersama di grup "Munadharah Kitab Kuning" yang dibentuk di media chating. Dengan terbatasnya ruang, waktu dan fasilitas yang kurang maksimal, maka semua anggota grup sepakat bahwa rumusan ini bukanlah jawaban akhir, melainkan hanya sebagai wadah bahan pertimbangan dalam memahami norma hukum islam.

Popular Posts