Gambar Ilustrasi / Sa'il: ⁨Ust. Hadiri Lanceng Madureh⁩


Deskripsi masalah

Setelah sukses menyelenggarakan Asian Games Indonesia Kembali mendapat kepercayaan untuk menghelat Asian Para Games, ajang adu prestasi olah raga kaum difabel (berkebutuhan khusus) se-benua Asia dengan mempertandingkan 18 Cabang Olahraga (cabor) dan diikuti 42 negara Asia.

Salah satu Cabor itu adalah judo dimana Indonesia di wakili oleh atlet bernama Miftahul Jannah asal Aceh. Namun sayang Miftahul Jannah harus didiskualifikasi karena tidak mau melepas jilbabnya. Dengan rasa sedih miftah (panggilan akrabnya) meninggalkan arena judo bahkan dia berkeinginan akan mundur dari menjadi pejudo selamanya dan lawan tandingnya diberi kemenangan WO.

Akibat kejadian itu banyak netizen yang memberi apresiasi terhadapnya bahkan ada anggota DPR RI yang langsung menghadiahinya Umroh.
Di lain pihak, panitia tetap bersikukuh bahwa itu sudah merupakan aturan dalam pertandingan judo internasional, demi menjaga keselamatan atlet karena di judo ada tehnik mencengkram dan pitingan sehingga dikhawatirkan jilbab dijadikan alat oleh lawan untuk mencekiknya.


Pertanyaan:
1. Benarkah tindakan yang dilakukan oleh Atlet Miftahul Jannah dengan memilih tidak melepas jilbab walaupun konsekuensinya adalah didiskualifikasi?

2. Apa bisa dibenarkan tindakan panitia pelaksana dengan mendiskualifikasi atlet judo yang berjilbab dengan alasan aturan Internasional?


Jawaban:
1. Tindakan Miftahul Jannah tetap berkomitmen untuk tidak melepas jilbabnya itu sangat dibenarkan jika memang tidak ada alternatif lain selain harus membuka aurat/tidak berjilbab. Namun jika ada alternatif penutup aurat kepala dan leher yang aman saat bertanding, maka harus mengganti jilbabnya dengan penutup tersebut agar tidak didiskualifikasi yang dapat merugikan negara yang dibelanya.

2. Tidakan panitia bisa dibenarkan dengan mendiskualifikasi yang bersangkutan demi keselamatan dan menghindari sesuatu yang tidak diinginkan jika memang tidak ada alternatif lain untuk bisa bertanding dengan tetap menjaga auratnya.


Referensi jawaban

⁨Ust. Kholid Hasyim⁩

أَمَّا إِذَا أَمْكَنَ تَحْصِيل الْوَاجِبِ، أَوْ تَرْكُ الْمُحَرَّمِ مَعَ دَفْعِ الضَّرَرِ بِطَرِيقٍ آخَرَ مِنَ الْمَنْدُوبَاتِ أَوِ الْمَكْرُوهَاتِ فَلاَ يَتَعَيَّنُ تَرْكُ الْوَاجِبِ وَلاَ فِعْل الْمُحَرَّمِ، وَلِذَلِكَ لاَ يُتْرَكُ الْغُسْل بِالْمَاءِ، وَلاَ الْقِيَامُ فِي الصَّلاَةِ وَلاَ السُّجُودُ لِدَفْعِ الضَّرَرِ وَالأَْلَمِ وَالْمَرَضِ، إِلاَّ لِتَعَيُّنِهِ طَرِيقًا لِدَفْعِ ذَلِكَ الضَّرَرِ، وَهَذَا كُلُّهُ قِيَاسٌ مُطَّرِدٌ

مجموعة من المؤلفين، الموسوعة الفقهية الكويتية، ١٨٩/٢٨


والواجب على المسلم الالتزام بأحكام الشرع، و " لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق "، وحجاب المرأة المسلمة من الواجبات التي يلزمها الطاعة فيها، والضرر الذي تتصور المرأة وقوعه عليها أو على أهلها قد لا يكون له أصل، وقد يكون الضرر غير بالغ، ويمكن تحمله والصبر عليه، وعليه: فيجب عليها البقاء على الالتزام بلباسها الشرعي

فإن كان الضرر بالغاً ويقينيّاً أو بغلبة ظن راجح: فيمكن للمرأة نزع الحجاب حفاظاً على عرضها ودينها، لكن يجب عليها الالتزام بأعلى قدر ممكن من الستر والحشمة، ولا يجوز لها الخروج من المنزل على هذه الحال إلا في وقت الضرورة، ولا يجوز الترخص في الخروج على هذه الحال للدراسة أو لشراء حاجيات يمكن أن يأتي بها غيرها، بل نعني بالضرورة الخروج لعلاج لا يتيسر في البيت، أو عمل شرعي لا يمكن تركه، وما يشبههما

محمد صالح المنجد، موقع الإسلام سؤال وجواب، ٧٥٢٢/٥

 

الإسلام سؤال وجواب
لا شك أن ما تفعله بعض البلدان من منع المرأة المسلمة من التمسك بحجابها، يعدُّ أمراً منكراً وجريمة عظيمة، - إلى أن قال

وعلى كل حال: لا يجوز للمرأة أن تطيع أحداً يأمرها بمعصية الله تعالى، لا في خلع الحجاب في الشارع ولا في الصورة، ولا يجوز للمرأة فعل ذلك إلا إن وصل الأمر لحدِّ الضرورة كالإكراه بالقوة، أو أن تكون تلك الوثائق محتَّمة الصدور لضرورات الحياة

ولا يجوز أن تكون المخالفة في هذا الأمر إلا أن يكون الضرر يقينيّاً أو بغلبة الظن، فلا يجوز أن يكون من أجل سفر غير ضروري، بل ينبغي أن يكون ذلك من أجل ضرورة تحتم إصدار الوثيقة كإثبات الإقامة أو إثبات الشخصية

محمد صالح المنجد، موقع الإسلام سؤال وجواب، ٧٥٠٩/٥

0 komentar:

Posting Komentar

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

Salam Secangkir Kopi

Rumusan ini merupakan hasil belajar bersama di grup "Munadharah Kitab Kuning" yang dibentuk di media chating. Dengan terbatasnya ruang, waktu dan fasilitas yang kurang maksimal, maka semua anggota grup sepakat bahwa rumusan ini bukanlah jawaban akhir, melainkan hanya sebagai wadah bahan pertimbangan dalam memahami norma hukum islam.

Popular Posts