Sa'il: Ust. Mukhtar Hidayat
Deskripsi masalah
Mafhum bahwa ketika belum juga dikaruniai anak, banyak pasangan suami istri yang mengadopsi anak orang lain bahkan ada juga yang mengadopsi semenjak si calon anak angkat masih dalam kandungan ibunya.
Keinginan kuat menjadi ibu membuat perempuan pengadopsi menjalani Terapi Induksi Laktasi agar ia kelak bisa menyusui si bayi calon anak angkat yang kini masih dalam kandungan ibunya.
Terapi Induksi Laktasi adalah terapi untuk perempuan yang ingin menyusui tanpa ada kehamilan yang dialaminya dengan mengkonsumsi nutrisi, obat ataupun melalui proses pijat, sehingga secara fisikal bisa memproduksi ASI seperti orang yang mengalami kehamilan pada umumnya.
Pertanyaan:
1. Bagaimana menurut perspektif fiqih tentang Terapi Induksi Laktasi tersebut?
2. Bagaimana hukumnya mengadopsi bayi, baik yang sudah dilahirkan maupun yang masih didalam kandungan ibunya?
3. Termasuk aqad apakah praktek adopsi ini; hibah, titipan atau lainnya?
4. Bolehkah orang tua angkat melarang anak angkatnya untuk saling bertemu dengan orang tua kandungnya?
Jawaban:
1. Terapi Induksi Laktasi itu hukumnya boleh selama tidak ada kemudhorotan setelahnya.
Apabila terapi tersebut melalui proses pemijatan maka harus dilakukan oleh dirinya sendiri, suami atau sesama wanita.
Apabila terapi tersebut menggunakan obat-obatan maka harus menggunakan obat yang tidak membahayakan dan tidak terbuat dari plasenta.
2. Jika mengadopsi anak seperti prakteknya kaum jahiliyah, yakni menghukumi anak angkat sama seperti anak kandungnya sendiri, maka hukumnya tidak boleh.
Namun jika mengadopsi anak dengan tujuan baik, tidak seperti prakteknya kaum jahiliyah, maka hukumnya diperbolehkan dengan ketentuan bahwa status pengangkatan anak tidak sampai merubah nasab, hak waris begitu juga kunyah (julukan)nya.
Sedangkan hukum kemahramannya bisa menjadi mahram birrodo' (mahram sebab persusuan) bila disusui oleh ibu angkat dengan syarat anak yang disusui berumur dibawah 2 tahun dan tidak kurang dari 5 kali susuan.
Adapun Adopsi sebatas merawat dan membesarkannya hal itu sangatlah dianjurkan, terlebih terhadap anak terlantar atau yatim piatu agar bisa dirawat dan dibesarkan dengan baik.
3. Praktek adopsi tidak termasuk pada aqad apapun tetapi adopsi atau tabanni adalah perbuatan ihsan linnass / berbuat baik pada sesama.
4. Orang tua angkat tidak boleh melarang anak angkatnya untuk bertemu dengan orang tua kandungnya karena pengadopsian anak tersebut tidak dapat memutus tali nasab dengan orang tua kandungnya begitu juga pelarangan tersebut tidak diperbolehkan karena termasuk perbuatan yang dapat memutus tali silaturahim antara anak dan orang tua yang mana hal tersebut termasuk akhlak yang tercela.
Referensi jawaban no. 1
Ust. Achmad Taufiq99
Ust. Muzakki Mas'ud
Referensi jawaban no. 2
Ust. Muzakki Mas'ud
Referensi jawaban no. 3 sebagian merujuk pada jawaban no. 2
KH. M. Mundzir Kholil
Referensi jawaban no. 4 merujuk pada referensi jawaban sebelumnya.
Deskripsi masalah
Mafhum bahwa ketika belum juga dikaruniai anak, banyak pasangan suami istri yang mengadopsi anak orang lain bahkan ada juga yang mengadopsi semenjak si calon anak angkat masih dalam kandungan ibunya.
Keinginan kuat menjadi ibu membuat perempuan pengadopsi menjalani Terapi Induksi Laktasi agar ia kelak bisa menyusui si bayi calon anak angkat yang kini masih dalam kandungan ibunya.
Terapi Induksi Laktasi adalah terapi untuk perempuan yang ingin menyusui tanpa ada kehamilan yang dialaminya dengan mengkonsumsi nutrisi, obat ataupun melalui proses pijat, sehingga secara fisikal bisa memproduksi ASI seperti orang yang mengalami kehamilan pada umumnya.
Pertanyaan:
1. Bagaimana menurut perspektif fiqih tentang Terapi Induksi Laktasi tersebut?
2. Bagaimana hukumnya mengadopsi bayi, baik yang sudah dilahirkan maupun yang masih didalam kandungan ibunya?
3. Termasuk aqad apakah praktek adopsi ini; hibah, titipan atau lainnya?
4. Bolehkah orang tua angkat melarang anak angkatnya untuk saling bertemu dengan orang tua kandungnya?
Jawaban:
1. Terapi Induksi Laktasi itu hukumnya boleh selama tidak ada kemudhorotan setelahnya.
Apabila terapi tersebut melalui proses pemijatan maka harus dilakukan oleh dirinya sendiri, suami atau sesama wanita.
Apabila terapi tersebut menggunakan obat-obatan maka harus menggunakan obat yang tidak membahayakan dan tidak terbuat dari plasenta.
2. Jika mengadopsi anak seperti prakteknya kaum jahiliyah, yakni menghukumi anak angkat sama seperti anak kandungnya sendiri, maka hukumnya tidak boleh.
Namun jika mengadopsi anak dengan tujuan baik, tidak seperti prakteknya kaum jahiliyah, maka hukumnya diperbolehkan dengan ketentuan bahwa status pengangkatan anak tidak sampai merubah nasab, hak waris begitu juga kunyah (julukan)nya.
Sedangkan hukum kemahramannya bisa menjadi mahram birrodo' (mahram sebab persusuan) bila disusui oleh ibu angkat dengan syarat anak yang disusui berumur dibawah 2 tahun dan tidak kurang dari 5 kali susuan.
Adapun Adopsi sebatas merawat dan membesarkannya hal itu sangatlah dianjurkan, terlebih terhadap anak terlantar atau yatim piatu agar bisa dirawat dan dibesarkan dengan baik.
3. Praktek adopsi tidak termasuk pada aqad apapun tetapi adopsi atau tabanni adalah perbuatan ihsan linnass / berbuat baik pada sesama.
4. Orang tua angkat tidak boleh melarang anak angkatnya untuk bertemu dengan orang tua kandungnya karena pengadopsian anak tersebut tidak dapat memutus tali nasab dengan orang tua kandungnya begitu juga pelarangan tersebut tidak diperbolehkan karena termasuk perbuatan yang dapat memutus tali silaturahim antara anak dan orang tua yang mana hal tersebut termasuk akhlak yang tercela.
Referensi jawaban no. 1
Ust. Achmad Taufiq99
اعْلَمْ أَنَّ مَا تَقَدَّمَ مِنْ حُرْمَةِ النَّظَرِ وَالْمَسِّ هُوَ حَيْثُ لاَ حَاجَةَ إلَيْهِمَا وَأَمَّا عِنْدَ الْحَاجَةِ فَالنَّظَرُ وَالْمَسُّ (مُبَاحَانِ لِفَصْدٍ وَحِجَامَةٍ وَعِلاَجٍ) وَلَوْ فِيْ فَرْجٍ لِلْحَاجَةِ الْمُلْجِئَةِ إلَى ذَلِكَ؛ ِلأَنَّ فِي التَّحْرِيْمِ حِيْنَئِذٍ حَرَجًا، فَلِلرَّجُلِ مُدَاوَاةُ الْمَرْأَةِ وَعَكْسُهُ، وَلْيَكُنْ ذَلِكَ بِحَضْرَة مَحْرَمٍ أَوْ زَوْجٍ أَوْ امْرَأَةٍ ثِقَةٍ إنْ جَوَّزْنَا خَلْوَةَ أَجْنَبِيٍّ بِامْرَأَتَيْنِ، وَهُوَ الرَّاجِحُ
مغنى المحتاج ج ٤ ص ٢١٥
Ust. Muzakki Mas'ud
وإذا أرضعت المرأة بلبنها ولدا سواء شرب في حياتها أو بعد موتها وكان محلوبا في حياتها صار الرضيع ولدها بشرطين أحدهما أن يكون له دون الحولين بالأهلة والشرط الثاني أن ترضعه أى المرضعة خمس رضعات متفرقة
حاشية الباجوري ج ٢ ص ١٨١
وَفِيْ فَتَاوَى الْقَمَّاطِ مَا حَاصِلُهُ جَوَازُ اسْتِعْمَالِ الدَّوَاءِ لِمَنْعِ الْحَيْضِ
غاية التلخيص ص ١٩٦
قوله (وَيَجُوزُ شُرْبُ دَوَاءٍ مُبَاحٍ لِقَطْعِ الْحَيْضِ مَعَ أَمْنِ الضَّرَرِ نَصًّا) كَالْعَزْلِ وَ (قَالَ الْقَاضِي لَا يُبَاحُ إلَّا بِإِذْنِ الزَّوْجِ) أَيْ؛ لِأَنَّ لَهُ حَقًّا فِي الْوَلَدِ (وَفِعْلُ الرَّجُلِ ذَلِكَ بِهَا) أَيْ؛ إسْقَاؤُهُ إيَّاهَا دَوَاءً مُبَاحًا يَقْطَعُ الْحَيْضَ (مِنْ غَيْرِ عِلْمِهَا يَتَوَجَّهُ تَحْرِيمُهُ) قَالَهُ فِي الْفُرُوعِ، وَقُطِعَ بِهِ فِي الْمُنْتَهَى لِإِسْقَاطِ حَقِّهَا مِنْ النَّسْلِ الْمَقْصُودِ (ومثله) أي مثل شربها دواء مباحا لقطع الحيض (شربه كافورا) قال في المنتهى ولرجل شرب دواء مباح يمنع الجماع
كشاف القناع ج ١ ص ٢١٨
Referensi jawaban no. 2
Ust. Muzakki Mas'ud
تَبَنِّي
التَّعْرِيفُ؛
١ - التَّبَنِّي؛ اتِّخَاذُ الشَّخْصِ وَلَدَ غَيْرِهِ ابْنًا لَهُ، (١) وَكَانَ الرَّجُل فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَتَبَنَّى الرَّجُل، فَيَجْعَلُهُ كَالاِبْنِ الْمَوْلُودِ لَهُ، وَيَدْعُوهُ إِلَيْهِ النَّاسُ، وَيَرِثُ مِيرَاثَ الأَْوْلاَدِ (٢
وَغَلَبَ فِي اسْتِعْمَال الْعَرَبِ لَفْظُ (ادِّعَاءٌ) عَلَى التَّبَنِّي، (٣) إِذَا جَاءَ فِي مِثْل (ادَّعَى فُلاَنٌ فُلاَنًا) وَمِنْهُ (الدَّعِيُّ) وَهُوَ الْمُتَبَنَّى، قَال اللَّهُ تَعَالَى؛ {وَمَا جَعَل أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ}. (٤
وَلاَ يَخْرُجُ اسْتِعْمَال الْفُقَهَاءِ لِلَفْظِ التَّبَنِّي عَنِ الْمَعْنَى اللُّغَوِيِّ
الموسوعة الفقهية الكويتية ج ١٠ ص ١٢٠ المكتبة الشاملة
وَقَدْ كَانَ التَّبَنِّي مَعْرُوفًا عِنْدَ الْعَرَبِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَبَعْدَ الإِْسْلاَمِ، فَكَانَ الرَّجُل فِي الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا أَعْجَبَهُ مِنَ الرَّجُل جَلَدَهُ وَظَرْفَهُ ضَمَّهُ إِلَى نَفْسِهِ، وَجَعَل لَهُ نَصِيبَ ابْنٍ مِنْ أَوْلاَدِهِ فِي الْمِيرَاثِ، وَكَانَ يُنْسَبُ إِلَيْهِ فَيُقَال؛ "فُلاَنُ بْنُ فُلاَنٍ"، وَقَدْ تَبَنَّى الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ قَبْل أَنْ يُشَرِّفَهُ اللَّهُ بِالرِّسَالَةِ، وَكَانَ يُدْعَى زَيْدَ بْنَ مُحَمَّدٍ، وَاسْتَمَرَّ الأَْمْرُ عَلَى ذَلِكَ إِلَى أَنْ نَزَل قَوْل اللَّهِ تَعَالَى؛ {وَمَا جَعَل أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ} إِلَى قَوْلِهِ؛ {وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا} (٣) وَبِذَلِكَ أَبْطَل اللَّهُ نِظَامَ التَّبَنِّي، وَأَمَرَ مَنْ تَبَنَّى أَحَدًا أَلاَّ يَنْسُبَهُ إِلَى نَفْسِهِ، وَإِنَّمَا يَنْسُبُهُ إِلَى أَبِيهِ إِنْ كَانَ لَهُ أَبٌ مَعْرُوفٌ
الموسوعة الفقهية الكويتية ج ١٠ ص ١٢١ المكتبة الشاملة
التبني بمعنى التربية والرعاية ذلك هو التبني الذي هو أبطله الإسلام هو الذي يضم فيه الرجل طفلا إلى نفسه يعلم أنه ولد غيره ومع هذا يلحقه بنسبه وأسرته ويثبت له كل أحكام النبوة وأثارها من إباحة إحتلاط وحرمة زواج واستحقاق ميراث، وهناك نوع يظنه الناس تبنيا وليس هو بالتبني الذي حرمه الإسلام وذلك أن يضم الرجل إليه طفلا يتيما أو لقيطا ويجعله كابنه في الحنو عليه والعناية به والتربية له فيحضنه ويطعمه ويكسوه ويعلمه ويعامله كأنه إبنه من صلبه ومع هذا لم ينسبه لنفسه ولم يثبت له أحكام النبوة المذكورة فهذا أمر محمود في دين الله يستحق صاحبه عليه المثوبة في الجنة
الحلال والحرام في الإسلام ص ٢١٨
Referensi jawaban no. 3 sebagian merujuk pada jawaban no. 2
KH. M. Mundzir Kholil
عن أنس رضي الله عنه أن النبي صلی اللہ علیه وسلم قال؛ الخلقُ عيالُ اللهِ فأحبُّهم إلى اللهِ أنفعُهم لعيالِهِ
خصائص الامًة المحمدية للسيد محمد بن علوي بن عباس المالكي الحسني ص ١٧٧
Referensi jawaban no. 4 merujuk pada referensi jawaban sebelumnya.